Seorang pimpinan perusahaan mengeluhkan sulitnya menggerakkan anak buahnya untuk terlibat secara ‘all out’ dalam program peningkatan servis dan efisiensi di cabangnya. “Kenaikan target dan berbagai kegiatan yang diadakan atau diusulkan, ditanggapi dengan dingin, bahkan dikomentari sinis. Enerji yang dikerahkan lebih banyak digunakan untuk membela diri, menyalahkan orang lain bahkan berkelompok dan saling bermusuhan.”
Dengan ancaman krisis yang kita hadapi sekarang, ada perusahaan atau organisasi yang terasa sekali bahu membahu satu sama lain memperkuat perusahaan. Namun, ada juga organisasi yang individunya malah kehilangan ‘sense of belonging’, bahkan main sikut antar karyawan. Gerakan ‘short term management’ yang melahirkan strategi downsizing, outsourcing dan program pemangkasan biaya sumber daya manusia, tak pelak membuat perusahaan seringkali harus membayar mahal akibatnya, dengan menerima kenyataan bahwa perusahaan tidak lagi menjadi ‘place of engagement’ yang nyaman. Komitmen individu begitu rapuh atau tumbuh hanya sekedarnya saja.
Kita lihat, ternyata “depresiasi” tidak selalu berkenaan dengan hal-hal finansial, tapi juga bisa terjadi pada rasa kebersamaan. Padahal, sebagai makhluk sosial, proses sosial dan ikatan kekuatan dalam kelompok adalah hal yang sangat penting. Menurunnya spirit komunitas ini, sebetulnya adalah kegagalan manajemen yang cukup monumental, tapi sering kali tidak terasa. Dalam kondisi seperti ini, masihkah seorang pemimpin mampu membangkitkan semangat dan mendapatkan dukungan dari anggota kelompoknya?
Komunitas itu Sakti!
Kita bisa amati bagaimana ensiklopedia Web Wikipedia, serta berkembangnya system operasi komputer Linux, mengandalkan komunitas terbuka. Siapa saja boleh berpartisipasi, tidak banyak batasan untuk bergabung, memberi masukan, menyuarakan pendapat dalam komunitas tersebut. Hasilnya, kumpulan pikiran, perasaan dan tindakan ini bagaikan bola salju yang berkembang dan menyebar pesat secara positif. Manfaatnya langsung bisa dirasakan banyak orang. Kita juga tahu betapa kesaktian komunitas sudah dinikmati Barack Obama, yang tadinya bukan siapa-siapa, namun karena dukungan komunitas teman, jaringan facebook, lalu bisa memanfaatkan energi luarbiasa.
IBM juga dimotori oleh komunitas informal ketika memasuki dunia ‘e-business’. Seorang programmer yang sangat antusias, mengumpulkan rekan-rekan yang sama-sama meyakini kesempatan ini. Mereka memulai kegiatannya tanpa budget sama sekali. Lou Gerstner, CEO yang mengetahui adanya buah pikiran komunitas ini, segera memberi dukungan, dan akhirnya, IBM menikmati bisnisnya.
Komunitas juga sering berkembang tanpa disengaja. Sebut saja, komunitas makan siang, pulang bersama, atau kegiatan agama yang karena secara rutin berkomunikasi lalu membangkitkan kesamaan rasa secara sosial. Dalam banyak situasi, komunitas dalam perusahaan punya kekuatan yang lebih besar daripada kekuatan pemimpinnya sendiri. Dalam buku terbarunya: “Community: The Structure of Belonging”, pakar konseling Peter Block, mengatakan bahwa perubahan akan dengan mudah terjadi bila kelompok manusia di dalam sebuah organisasi, lembaga bahkan pemerintah menyadari dan menemukan kekuatannya sendiri, sehingga tidak ada sikap menunggu gebrakan dari pemimpin atau top manajemen, yang kadang tidak dapat menguasai emosi atau mendapatkan kepercayaan komunitas sepenuhnya.
“Care”: Landasan Komunitas
Kita tentunya sangat familiar dengan berbagai komunitas, seperti komunitas jantung sehat, makanan organic atau bike to work. Jarang sekali, kita menangkap kesan negatif pada komunitas ini. Komunitas selalu mempunyai greget yang positif, kepedulian, respek dan ‘care’, sehingga mempunyai kekuatan inspiratif yang kuat.
Merangsang individualisme, mengadu domba, merangsang kompetisi di dalam perusahaan memang bisa berguna untuk pendorong prestasi. Namun sebaliknya, kita juga perlu memanfaatkan emosi sosial yang beredar di sebuah organisasi. Toyota, bahkan Pixar, dengan slogannya “make the community a magnet for talented people” jelas-jelas menghidupkan “sense of belonging” terhadap perusahaan melalui komunitas yang “mengikat” individu didalamnya, layaknya sebuah ‘keluarga’.
Visi yang Luhur: Memperkuat Organisasi
Semua orang sadar bahwa mencetak keuntungan adalah sasaran utama perusahaan. Bagi karyawan, cara mencari untung dan kualitas dalam menjalankan usahalah yang sesungguhnya bisa menumbuhkan semangat kebersamaan dan komitmen yang tidak ada matinya. Secara sederhana , dalam sebuah perusahaan nasional klien saya, rasa ‘nasionalisme’, cinta Indonesia digaungkan di kalangan insinyur insiyur muda yang perlu berhadapan dengan klien yang kebanyakan lebih senior dan berkebangsaan lain. Misi dan budaya yang luhur seperti inilah yang membuat karyawan seolah siap ‘berjuang’ bersama perusahaan. Sebaliknya, tanpa visi yang menarik, perusahaan bisa jadi hanya bergerak bagaikan manusia tanpa kepribadian, seperti tulang dan daging tanpa nyawa dan jiwa.
”Sense of community” biasanya memang berakar di tengah-tengah organisasi. Adanya “sense of community” ini biasanya menjadikan karyawan lebih aktif secara sosial, bertanggung jawab dan siap menguatkan organisasi. Bila pemimpin bisa menangkap dan memanfaatkan kekuatan sosial ini, tantangan untuk menggerakkan dan mengarahkan kelompok tentu bisa jadi lebih mudah. Inilah sebabnya, pengembangan ‘sense of community’ tidak bisa diabaikan dan perlu dilakukan sejalan dengan pengembangan kepemimpinan.